Selasa, 10 Februari 2009

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh: Asykur Hulu
Muqadimah
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SAW tempat orang-orang yang beriman melakukan sujud pemohonan dan pengampunan, tempat orang-orang yang terlarut dalam cinta akhirat yang hanya semata dilakukan karena pengabdian kepada sang Maha Pencipta segala apa yangada di bumu ini beserta isinya.
Shalawat beserta salam tak lupa juga kita curahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah membawa suatu kaum yang bergelimang dalam kesyirikan menuju ketakwaan kepada Sang Maha Pencipta. Mudahan-mudahan keluarga, sahabat, dan umat akhir hayat yang tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang telah dibawa Beliau mendapat tempat yang baik di akhirat nantinya.
Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir ini merupakan terjemahan dari kitab asalnya karya tulis Ibnu Katsir sendiri tanpa ada ringkasan atau melalui karya tulis pihak lain. Kitab Tafsir Ibnu Kasir banyak di gunakan sebgai rujukan karena terkenal sebagai kitab tafsir yang dikelompokkan ke dalam tafsir bil ma’sur(tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi SAW) sehingga terhimpun di dalamnya faedah yang sangat banyak karena di dalam kandungarinya termuat dua pokok sumber hukum Islam, yaitu Alqur’anul Karim dan Sunnah Rasul-Nya.
Ibnu katsir melakukan rumusan tafsirnya dengan sangat teliti sehingga Tiada suatu ayat pun yang ada di dalamnya melainkan diterangkan dengan hadits yang melatarbelakangi penurunannya, sehingga memperjelas makna yang dimaksud dan subjek yang ditujunya. Bahkan di dalam kitab tafsir ini disebutkan pula sanad setiap hadits yang dikemukakan sebagai tanggung jawab ilmiah dari Al-Imam Ibnu Katsir dalam penukilannya.
Pada kenyataannya tidaklah seperti apa yang dituduhkan oleh para penulis sekarang yang meringkasnya, di antaranya ada yang beralasan tafsir ini banyak hadis daif dan israiliyatnya dan kurang layak menajdi rujukan. Padahal kalau kita kaji lebih mendalam, menjadi jelaslah duduk perkaranya.
Dalam penyajiannya Al-lmam Ibnu Kasir tidak sembarang dalam mengeluarkan hadis-hadis yang dhaif, melainkan hanya yang tidak ada kaitannya dengan hukum. Dan apabila berkaitan dengan kisah umat-umat terdahulu, yang dikenal dengan istilah israiliyat. Adapun kalau. sehubungan dengan ayat-ayat hukum, maka baik hadis maupun sunnah yang diketengahkannya berpredikat sahih dan paling tidak hasan.
Metode yang dilakukan Ibnu Katsir yang dilakukanya dalam perumusan kitabnya dengan memakai pendekatan yaitu Al-Qur'an dengan Al-Qur'an (penafsiran Al-Qur'an dengan menafsirkan ayat dengan ayat yang telah ada di dalam Al-Qur'an atau lebih jelasnya bahwa sebuah ayat menafsirkan ayat yang akan ditafsirkan) , Al-Qur'an dengan Hadits (Penafsiran yang dilakukan dengan mengambil/menerangkan dengan hadits-hadist dari Rasulullah Saw), Al-Qur'an dengan para sahabat (penafsiran yang tidak diterangak dengan Al-Qur'an itu dan Hadits yang ada maka peranan sahabatlah yang dijadikan rujukan karena para sahabat itu adil dan mengetahui turunya wahyu), Al-Qur'an dengan tabiin (penafsiran yang dipakai dengan rujukan dari para tabiin yang menafsirkan Al-Qur'an sebagai rujukan), Al-Qur'an dengan Rayu atu akal (penafsiran yang memakai akal akan tetapi sangat terjaga karena tidaklah mungkin menafsirkan ayat tanpa ilmu karena ilmulah yang sangat menentukan layak atu tidaknya cara penafsiran yang dilakukan.
Untuk menjawab pertayaan dari para penolak-penolak Tafsir Ibnu Katsir yang tidak menerimanya sebagai Tafsir yang Mat'sur maka dalam pembahasan yang sangat singkat ini, saya mencoba menerangkan sosok beliau hingga sipakah beliau, apa kegiatan beliau , dimana dia mendapatkan ilmunya sampai bagaimanakah sebetulnya pemikiran belaiu sehingga karyanya sangat banyak manfaat di dalamnya.
Oleh karena itu saya akan mencoba menjelaskan satu demi satu agar kita semua dapat membedakan manakah yang terbaik dan manakah yang harus kita perbaharui dalam cara terbaik dalam mengakaji penafsiran dalam Al-Qur'an yang baik.

Profil Biografi Ibnu Katsir
A. kelahiranya
Ibnu Katsir adalah ulama Islam terkemuka yang hidup di abad ketujuh hijriah, nama aslinya adalah Imad Ad-Din Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir bin Zara' bin Katsir ad-Dimasyqi dan Nama kecil Ibnu Katsir adalah Ismail . Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra (Bashrah) tahun 700 H/1301 M. oleh karena itu ia mendapat predikat al-Busyrawi (orang Bushra). Dan meninggal pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban 774 H/Februari 1373 M .
Ibnu Katsir berasal dari keluarga yang terhormat. Ayahnya seorang ulama terkemuka di masanya Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibn Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun .
Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan,. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 6 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 706 H/1306 M ia hidup bersama kakaknya (Kamal Ad-Din Abdul wahab ) di Damaskus. Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an .
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail .
Pada tahun 707 H, Ibn Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syekh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah- tentang fiqh syafi’i yang menganut mazhab Syafi’i. Lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syekh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu Syayrazi, syekh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), syekh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, syekh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), syekh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri syeh al-Mazi. Syekh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“ .
Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada syeh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah .
Syihab ad-Din Abu Hafsh Amr ibnu Katsir ibn Dhaw ibnu Zara al-Qurasyi, pernah mendalami mazhab Hanafi, kendatipun mengatur mazhab Syafi’i setelah menjadi khatib di Bushra
B.Kondisi social pada masa itu
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa .
C. Pendidikan dan Aktifitasnya
Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk diisi dengan cahaya ilmu. Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di majlis mereka itu, dia tampak demikian suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami, dan menghafal semua ilmu yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai seorang penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang telah dipelajarinya.
Di antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah, Isa bin al-Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi, Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, Ibnu Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani, dll .
Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Hal itu dia lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada mertuanya yang ahli hadits tersebut .

D.Pemikirannya

lbnu Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia ingin ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus sebagai pembentuk sikap hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini pernah dibuktikan ketika dia harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah --guru yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang dianutnya-- yang berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan olehpemerintah .

Di samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak berdzikir, taqwa, sabar, zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya itu di hari kiamat kelak bisa menjadi pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di hadapan mahkamah Allah SWT .

E. Keistimewaan karya tafsir ibnu katsir

Keistimewaan tafsir ibnu katsir ini bisa kita abtrasikan ke dalam beberap point; pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan Dhaif .
dha’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.
Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah .
F. Prestasi Keilmuan
Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari .
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
G. Akhir Hayat
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga .
H. Pandangan Ulama terhadap Ibnu Katsir
Imam Suyuthi (w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibn Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl. ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”.
Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang paing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.
Ibnu Majah menyatakan bahwa Ibnu Katsir tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab. Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain. Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibnu Katsir.
I. Perhatian kepada Ilmu Pengetahuan
Ibnu Katsir memulai pelajarannya pada saudaranya sendiri, Abdul Wahhab, kemudian menuntut ilmu dari para ulama besar lainnya yang hidup sezaman dengannya. Bersamaan dengan itu, dia giat menghapalkan Al-Qur’an Al-Karim, dan mengkhatamkan hafalannya di tahun 711 H, seperti dikatakannya sendiri dalam tarikhnya vol. 14 hlm. 312. Dia membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at, sehingga oleh Ad-Dawudi digolongkan ke dalam para ahli qira’at . Bahkan biografinya dimasukkan ke dalam Thabaqat Al-Qura’ yang ditulisnya.
II. Karangan dan Metodologi Beliau
1.Karangan-karangannya
Berikut ini adalah sebagian dari kitab-kitab karangan Ibnu Katsir, yang di antaranya telah dicatat dengan seksama oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam pendahuluan dari kitabnya, ‘Umdatut-Tafsir (1/34), dimana dia katakan, “Saya tidak yakin bahwa saya telah dapat mencatat karangan-karangan Ibnu Katsir seluruhnya sekarang, karena sebagian karangan-karangan beliau telah hilang….” Dan di sini hanya akan kami sebutkan karangan-karangan beliau yang kami ketahui saja:
1. At-Tafsir,
Sebuah ketab Tafsir bi Ar-Riwayah yang terbaik, dimana Ibnu Katsir manafsirkan Al-Qur-an dengan Al-Qur’an pula, kemudian dengan hadits-hadits masyhur yang terdapat dalam kitab-kitab para ahli hadits, disertai dengan sanad masing-masing .
2. Al-Bidayah wa An-Nihayah,
Sebuah kitab sejarah yang sanat berharga dan terkenal, dicetak di Mesir di percetakan As-Sa’adah tahun 1358 H. Dalam 14 jilid besar. Dalam buku ini, Ibnu Katsir mencatat kejadian-kejadian penting sejak permulaan diciptakannya bumi-langit sampati dengan pertengahan tahun 768 H, yakni lebih-kurang 6 tahun sebelum wafatnya. Di antara kitab sejarah ini masih ada dua jilid, yaitu bagian akhir yang dinyatakan berjudul An-Nihayah, dimana Ibnu Katsir menghimpun berita-berita yang diriwayatkan orang mengenai berbagai macam huru-hara, tanda-tanda datangnya Hari Kiamat, peperangan-peperangan yang bakal terjadi dan hal ihwal akhirat .
3. As-Sirah An-Nabawiyah (kelengkapan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).
Kitab ini belum pernah kami lihat, tetapi telah disebutkan oleh Ibnu Katsir, disamping dia sebutkan pula As-Sirah Al-Mukhtasharah (ringkasan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) ketika menafsirkan ayat 26 surat Al-Ahzab, tentang sebuah catatan sejarah yang kami tulis tersendiri secara ringkas dan sederhana.

4. As-Sirah (ringkasan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).
Kitab ini telah dicetak di Mesir tahun 1538 H, dengan judul Al-Fushul fi Ikhtishari Siratir Rusul. Sayang, cetakan ini tidak lengkap, karena yang dicetak hanya bahian perjalanan hidup Nabi saja, yang berasar dari manuskrip (yang ada di perpustakaan ‘Arif Hikmat) di Madinah Al-Munawwarah. Jadi kitab ini masih kurang.

5. Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits,
Ibnu Katsir meringkas kitab Muqaddimah Ibnu Shalah, yang berisi ilmu Musthalah Al-Hadits. Kitab ini telah dicetak di Makkah dan di Mesir, dengan penelitian yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir pada tahun 1370 H.

6. Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan,
kitab ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad Abdur Razzaq Hamzah dengan judul, Al-Huda wa As-Sunan fi Ahadits Al-Masanid wa As-Sunan, dimana Ibnu Katsir telah menghimpun antara Musnad Imam Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan Ibnu Abi Syaibah dengan Al-Kutub As-Sittah menjadi satu. Tetapi sayang, Ibnu Katsir tidak sempat menyelesaikannya, dan yang ada hanya tujuh jilid saja. Semuanya terdapat di Darul Kutub Al-Mishiriyah, dengan jumlah kertas dari ketujuh jilid kitab tersebut – dalam keadaan sobek di sana-sini – seluruhnya ada 2.280 lembar.

7. At-Takmil fi Ma’rifah Ats-Tsiqaath wa Adh-Dhu’afa’I wa Al-Majahil.
Ibnu Katsir menghimpun dua kitab karya dua orang gurunya, Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi menjadi satu, yaitu, Tahzib Al-Kamal dengan Mizan Al-I’tidal, disamping ada tambahan-tambahan mengenai Al-Jarh wa At-Ta’dil sehingga dia melakukan perumusan yang menghasilkan sebuah.
8. Musnad Asy-Syaikhain, Abi Bakr wa Ummar, musnad ini terdapat di Darul Kutub Al-Mishriyah pada no. 152/Hadits/Timur.
9. Risalah Al-Jihad, dicetak di Mesir.
10. Thabaqat Asy-Syafi’iyah, bersama dengan Manaqib Asy-Syafi’i.
11. Ikhtishar, yakni ringkasan dari kitab Al-Madkhal ila Kitab As-Sunan karangan Al-Baihaqi.
12. Kitab Al-Muqaddimat, boleh jadi isinya tentang Musthalah Al-Hadits.
13. Takhrij Ahaditsi Adillatit Ibnil Hajib, isinya membahas tentang furu’ dalam mazhab Asy-Syafi’i.
14. Takhrij Ahaditsi Mukhtashar Ibnil Hajib, berisi tentang usul fiqh.
15. Syarah Shahih Al-Bukhari, baru dimulai, belum selesai. Kitab ini sering kali dia sebutkan dalam kitab-kitabnya yang lain.
16. Kitab Al-Ahkam, sebuah kitab besar yang belum sempat dia selesaikan. Pembahasan dalam kitab ini baru sampai ke bab Haji .
2. Metodologi Ibnu Katsir
Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits .
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil .
Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.
Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah) .
Mengomentari periwayatan isroiliyyat . Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya , walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibnu Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.
Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi.
Pebedaan dengan karya-karya ulama lain karena sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal) kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan .
Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk.
Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya . Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran .
Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an” yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf.
Dalam tulisannya beliau mengkritik bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas .
Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman s ekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf.
III. Contoh Metodologinya

Surat Quraisy
 •                   
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. ( Q.S. Quraisy; 1-3)

[1602] Orang Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Tuhan mereka. oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.

"Karena kebiasaan orang Quraisy. "Karena, kebiasaan dan berkumpulnya mereka di kota Mekkah dalam keadaan aman sentosa. Namun, adapula yang mengatakan, adalah menjadi kebiasaan mereka mengadakan perjalanan di musim dingin di negeri Yaman dan perjalanan di musim panas ke kota Syam, uuntuk berdagang dan keperluan lainya. Kemudian, mereka kembali ke negeri mereka dalam keadaan sentosa. Adapun tentang pemukiman mereka di negeri itu adalah sebagaimana Firman Allah;
    •   ••         
67. Dan Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? (Q.S. Al-An kabut; 67)

Kemudian Allah SWT memberikan bimbingan kepada mereka untuk mensyukuri nikmat yang besar ini, maka Dia berfirman," Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini" artinya , hendaklah mereka mentauhidkan-Nya dalam beribadah, sebagiamana firman-Nya,"Katakanlah, Hanyalah aku di prerintahkan untuk beribafdah kepada Rabb negeri yang telah di muliakan-Nya ini. Dan milikNyalah segala sesuatu. Dan aku di perintahkan untuk masuk ke dalam golongan orang-orang Muslim."
Firman Allah SWT, " Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar,"yaitu telah memberikan makan itu adalah pengurus rumah ini, dan mengamankan mereka dalam ketakuatn artinya Allah telah member karunia kepada mereka berupa keamanan dan kesenangan. Maka tunggalkan Dia dalam beribadah, jangan menyekutukan-Nya dengan yang lain. Dan janganlah mereka menyembah selain-Nya berupa patung, saingan dan berhala. Itulah sebabnya, siapa saja yang memperkenankan perintah ini maka Allah akan memberikan keamanan pada dirinya di dunia dan akhirat. Dan, barangsiapa yang berbuat durhaka kepada-Nya, maka dia akan mencabut keamanan itu, baik di dunia maupun di akhirat Sebagaimana Firman Allah:
      •            •      
112. Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian[Maksudnya: kelaparan dan ketakutan itu meliputi mereka seperti halnya pakaian meliputi tubuh mereka ] kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl;112)

Surah an-Nashr
        
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (Q.S. An-Nashr; 1-3)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata,"Umar pernah menggabungkan aku dengan para tetua Perang Badr. Seolah-olah di antara mereka ada yang tidak setuju, lalu dia berkata,"Mengapa dia ikut bergabung bersama kiat padahal kita pun mempunyai anak-anak yang seumur denganya? Umar menbjawab," Dia temasuk orang yang sudah kamu kenal.
Maka pada suatu hari, dia memanggilku dan menggabungkan aku dengan mereka, padahal pada hari itu Aku tidak beranggapan melainkan aku hendak diminta pendapat untuk mereka. Umar Berkata, "Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah; "Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan? Diantara meraka ada yang mengatakan,"Kita diperintahlkan untuk memui Allah SWT dan memohonkan ampunan kepada-Nya, bila kita ditolong dan memperoleh kemenangan . Namun sebagian yang lain terdiam, tidak ada sepatah katapun yang berkata. Lalu Umar bertanya kepadaku, seperti itu pulakah pendapatmu wahai Ibnu Abbas? Aku menjawab, Tidak. Dia bertanya, kalau begitu, bagaiamana pendapatmu?Kataku, itulah ajal Rasulullah SAW yang di beritahukan Allah kepada kemenangan. Maka inilah pertanda ajal engkau telah dekat. Dan kamu liaht manusia ,asuk agama Allah SWT dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha penerima Toabat. Umar berkata, Aku tidak mengetahui maksud surah inimelainkan sebagiaman yang telah engaku katakana. (HR. Imam Bukhari)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a, Ketika turun ayat apabial telah datang pertolongan Allah SWT dan kemenangannya, Rasulullah SAW mengatakan " Kematian diriku telah diumumakn". Beliau wafat di tahun itu. Diriwayatkan pula bahwa Aisyah r.a. berkata, Di akhir Usianya, Rasulullah SAW sering membaca,"Mahasuci Allah. Segala puji bagi-Nya. Aku meminta ampun kepada Allah. Dan aku bertobat kepadan-Na. " Dan Beliau mengatakan,"Tuhan-ku telah memerintahuakn kepadaku bila aku telah melihatnya agar bertasbih kepada-Nya, Memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha peneriamToabt. Dani kini aku telah menyaksiakn sendiri: apabila telah dating pertolongan Allah dan kemenangan.(HR. Imam Muslim).
Ssetelah turn surat ini, Rasulullah SAW, lebih bersungguh-sungguh lagi dalam beramal untuk akhiratnay. Dan Rasulullah SAW bersabda:"Kemenanagan itu telah dating, pertolongan Allah SWT itu telah dating dan penduduk Yaman dating. "Tiba-tiba seorang bertanya, "Ya Rasulullah SAW, siapakah penduduk Yaman itu?"Rasullah SAW menjawab ,"Warga yang hatinay lembut-lembut dan watak mereka sangat peramah. Keimanan ala Yaman dan pemahaman ala Yaman ."
Maksud suarat an-Nashr yang telah dijelaskan oleh sebagian pelaku Perang Badr yang duduk bersama Umar, sebagiaman telah dikisahkan dalam hadits Bukhari di muka, bahwaAllah telah memerintahkan kepada kiat bahwa bila Allah telah menaklukannegara-negara dan benteng-bentengpertahan untuk kita, maka kiat haurs memuji, mensyukuri, memahasucikan-Nya adalah maksud yang baik dan benar.
Lalu ada beberapa orang yang mengatakan, "Bahwa shalat yang dilakukan oleh beliau itu adalah shalat dhuha. "Pendapat ini tidak dapat diterima, sebab Rasulullah SAW tidak pernah membiasakanya dikalau beliau ada dirumah, maka bagaiaman mungkin Rasulullah SAW melakukan Shalat dhuha sedangakn beliau sedang bepergian dan tidakk berniat untuklbermukim di kota Mekkah?. Itulah sebabnya Rasululah SAW tringgal disana sampai akhir Ramadhan, kira-kira selama 19 hari. Belaiu menggashar shalat dan tidak berpuasa; beliau dan seluruh bala tentaranya. Bala tentara Rasullullah mengatakan bahw shalat yang dilakuak Rasulullah SAW pada saat itu adalah shalat kemenangan. Mereka mengatakan bahwa disunahkan bagi seorang panglima perang untuk melakukan shalat sebanyak 8 rakaat bila menaklukan suatu Negara.
Kemudian para ulama ada yang mengatkan bahwa pelaksannan shalt tersebut hanya dne3gan satu kali salam dalam 8 rakaat tersebut. Namunyang paling Rajih adalah melakukan shalat tiap dua rakaat.

Surat Hajj:70

          •     •     
70. Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu Amat mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hajj; 70)

Allah memerintahukan ihwal kesempurnaan pengetahuan-Nya terhadap makhluknya dan bahwa pengetahuanNya itu meliputi segala perkara yang ada dilamgit dan dibumi. Maka, tidak ada sbesar dzarrahpun yang ada di bumi an dilangit, bahkan sesuatau yang lebih kecil atau lebih bessar dari pada itu yang luput dari pengetahuanyaNya dan bahwa Allah SWT mengetahui seluruh perkara sebellum perkara itu ada. Dia menempatkan semua itu dalam Laum Mahfuz. Hal ini ditegaskan pula dalam shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW besabda;


"Allah telah menempatkan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi ketika itu, Arsy-Nya(singgasanaNya diatas air)" H.R. Muslim
Dalam kitab sunan Rasulullah SAW bersabda dari hadits sebagian kelompok sahabat
"yang pertama kali diciptakan Allah ialah kalam (pena) . Allah berfirman kepadanya,"tulislah!Qalam berkata,'apa yang harus aku tulis?Allah berfirman,"Tulislah apa yang akan terjadi. Maka, qalampun melukiskan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat."

Itulah maksud firman Allah SWT kepada Nabi SAW "apakah kamu tidak mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Inilah bagian dari kesempurnaan pengetahuan Allah SWT terhadap apa yang dilakukan manusia. Bahkan, Dia mengetahui sebelum penciptaan bahwa orang ini akan taat atas pilihanya pula. Hal ini ditetapkan disisinya. Pengetahuan-Nya meliputi segala perkara, hal itu mudah dan ringan baginya. Karena itu, Allah berfirman, bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

III. Beberapa Catatan
Ibnu Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama azhar, yang melakukan reseach terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.
Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“ .
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli .
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.
IV. Kesimpulan
Cara Ibnu Katsir melakukan perumusan tafsirnya dengan cara;
1. Menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an
2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
3. Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibn Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibn Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibn Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.
4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Ibn Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibn Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.
5. Ra’yu atau akal. Ibnu katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan.
6. Tidaklah benar apa yang di sebutkan di dalam tafsir ini menggunakan Israliyat, akan tetapi Ibnu Katsir melakukan perumusanya dengan sangat teliti sehingga tafsir ini sama dengan Tafsir yang dikarang oleh At-Thabari.

Daftar Pustaka
1. Dr. Yusuf Al-Qardawi, Bagaiamana Berinteraksi dengan Al-Qur'an, Terj(Kathur Suahrdi), Pustaka Al-Kautsar; Jakarta, 2000
2. Buletin An-Naba’ Edisi 11 Tahun ke-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar