Selasa, 10 Februari 2009

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh: Asykur Hulu
Muqadimah
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SAW tempat orang-orang yang beriman melakukan sujud pemohonan dan pengampunan, tempat orang-orang yang terlarut dalam cinta akhirat yang hanya semata dilakukan karena pengabdian kepada sang Maha Pencipta segala apa yangada di bumu ini beserta isinya.
Shalawat beserta salam tak lupa juga kita curahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah membawa suatu kaum yang bergelimang dalam kesyirikan menuju ketakwaan kepada Sang Maha Pencipta. Mudahan-mudahan keluarga, sahabat, dan umat akhir hayat yang tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang telah dibawa Beliau mendapat tempat yang baik di akhirat nantinya.
Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir ini merupakan terjemahan dari kitab asalnya karya tulis Ibnu Katsir sendiri tanpa ada ringkasan atau melalui karya tulis pihak lain. Kitab Tafsir Ibnu Kasir banyak di gunakan sebgai rujukan karena terkenal sebagai kitab tafsir yang dikelompokkan ke dalam tafsir bil ma’sur(tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi SAW) sehingga terhimpun di dalamnya faedah yang sangat banyak karena di dalam kandungarinya termuat dua pokok sumber hukum Islam, yaitu Alqur’anul Karim dan Sunnah Rasul-Nya.
Ibnu katsir melakukan rumusan tafsirnya dengan sangat teliti sehingga Tiada suatu ayat pun yang ada di dalamnya melainkan diterangkan dengan hadits yang melatarbelakangi penurunannya, sehingga memperjelas makna yang dimaksud dan subjek yang ditujunya. Bahkan di dalam kitab tafsir ini disebutkan pula sanad setiap hadits yang dikemukakan sebagai tanggung jawab ilmiah dari Al-Imam Ibnu Katsir dalam penukilannya.
Pada kenyataannya tidaklah seperti apa yang dituduhkan oleh para penulis sekarang yang meringkasnya, di antaranya ada yang beralasan tafsir ini banyak hadis daif dan israiliyatnya dan kurang layak menajdi rujukan. Padahal kalau kita kaji lebih mendalam, menjadi jelaslah duduk perkaranya.
Dalam penyajiannya Al-lmam Ibnu Kasir tidak sembarang dalam mengeluarkan hadis-hadis yang dhaif, melainkan hanya yang tidak ada kaitannya dengan hukum. Dan apabila berkaitan dengan kisah umat-umat terdahulu, yang dikenal dengan istilah israiliyat. Adapun kalau. sehubungan dengan ayat-ayat hukum, maka baik hadis maupun sunnah yang diketengahkannya berpredikat sahih dan paling tidak hasan.
Metode yang dilakukan Ibnu Katsir yang dilakukanya dalam perumusan kitabnya dengan memakai pendekatan yaitu Al-Qur'an dengan Al-Qur'an (penafsiran Al-Qur'an dengan menafsirkan ayat dengan ayat yang telah ada di dalam Al-Qur'an atau lebih jelasnya bahwa sebuah ayat menafsirkan ayat yang akan ditafsirkan) , Al-Qur'an dengan Hadits (Penafsiran yang dilakukan dengan mengambil/menerangkan dengan hadits-hadist dari Rasulullah Saw), Al-Qur'an dengan para sahabat (penafsiran yang tidak diterangak dengan Al-Qur'an itu dan Hadits yang ada maka peranan sahabatlah yang dijadikan rujukan karena para sahabat itu adil dan mengetahui turunya wahyu), Al-Qur'an dengan tabiin (penafsiran yang dipakai dengan rujukan dari para tabiin yang menafsirkan Al-Qur'an sebagai rujukan), Al-Qur'an dengan Rayu atu akal (penafsiran yang memakai akal akan tetapi sangat terjaga karena tidaklah mungkin menafsirkan ayat tanpa ilmu karena ilmulah yang sangat menentukan layak atu tidaknya cara penafsiran yang dilakukan.
Untuk menjawab pertayaan dari para penolak-penolak Tafsir Ibnu Katsir yang tidak menerimanya sebagai Tafsir yang Mat'sur maka dalam pembahasan yang sangat singkat ini, saya mencoba menerangkan sosok beliau hingga sipakah beliau, apa kegiatan beliau , dimana dia mendapatkan ilmunya sampai bagaimanakah sebetulnya pemikiran belaiu sehingga karyanya sangat banyak manfaat di dalamnya.
Oleh karena itu saya akan mencoba menjelaskan satu demi satu agar kita semua dapat membedakan manakah yang terbaik dan manakah yang harus kita perbaharui dalam cara terbaik dalam mengakaji penafsiran dalam Al-Qur'an yang baik.

Profil Biografi Ibnu Katsir
A. kelahiranya
Ibnu Katsir adalah ulama Islam terkemuka yang hidup di abad ketujuh hijriah, nama aslinya adalah Imad Ad-Din Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir bin Zara' bin Katsir ad-Dimasyqi dan Nama kecil Ibnu Katsir adalah Ismail . Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra (Bashrah) tahun 700 H/1301 M. oleh karena itu ia mendapat predikat al-Busyrawi (orang Bushra). Dan meninggal pada hari kamis tanggal 26 Sya’ban 774 H/Februari 1373 M .
Ibnu Katsir berasal dari keluarga yang terhormat. Ayahnya seorang ulama terkemuka di masanya Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibn Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun .
Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan,. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 6 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 706 H/1306 M ia hidup bersama kakaknya (Kamal Ad-Din Abdul wahab ) di Damaskus. Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an .
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail .
Pada tahun 707 H, Ibn Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syekh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) terkenal dengan ibnu al-Farkah- tentang fiqh syafi’i yang menganut mazhab Syafi’i. Lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syekh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syekh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu Syayrazi, syekh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), syekh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, syekh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), syekh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri syeh al-Mazi. Syekh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“ .
Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada syeh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah .
Syihab ad-Din Abu Hafsh Amr ibnu Katsir ibn Dhaw ibnu Zara al-Qurasyi, pernah mendalami mazhab Hanafi, kendatipun mengatur mazhab Syafi’i setelah menjadi khatib di Bushra
B.Kondisi social pada masa itu
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa .
C. Pendidikan dan Aktifitasnya
Di Damaskus, dia mulai mempersiapkan dan membuka batinnya untuk diisi dengan cahaya ilmu. Dia mendatangi majlis ulama ahli fiqh, ahli hadits, ahli sejarah, dan ulama-ulama yang lain. Di majlis mereka itu, dia tampak demikian suntuk dan sibuk mendengarkan, mencatat, memahami, dan menghafal semua ilmu yang didapatnya. Di majlis mereka itu pula, dia dikenal orang sebagai seorang penuntut ilmu yang cerdas, tekun, dan tidak banyak lupa dengan hal-hal yang telah dipelajarinya.
Di antara nama para ulama yang majlisnya selalu didatanginya adalah lbnu Farkah, Isa bin al-Muth'im, lbnu Syahnah, al-Hijar, lbnu Asakir, Ibnu asy-Syirazi, Ishaq bin Yahya al-Amidi, Muhammad bin Zarrad, Yusuf bin Zaki al-Mizzi, Ibnu Taimiyah, adz-Dzahabi, al-Ashbahani, dll .
Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Hal itu dia lakukan agar bisa lebih leluasa belajar hadits kepada mertuanya yang ahli hadits tersebut .

D.Pemikirannya

lbnu Katsir adalah figur seorang penuntut ilmu yang konsisten dengan ilmunya. Dia ingin ilmunya berfungsi sebagai suluh yang menerangi langkahnya, sekaligus sebagai pembentuk sikap hidupnya dan bukannya sebagai sarana untuk gagah-gagahan dan mencari popularitas. Hal ini pernah dibuktikan ketika dia harus menanggung siksaan yang sangat berat dari pihak pemerintah karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq, yang diadopsinya dari pendapat lbnu Taimiyah --guru yang sangat dihormati dan dicintainya serta fatwa-fatwanya banyak yang dianutnya-- yang berseberangan dengan peraturan tentang thalaq yang ditetapkan olehpemerintah .

Di samping itu, dia juga menghiasi hidupnya dengan sifat-sifat yang mulia seperti yang umumnya dimiliki oleh para ulama waratsatul anbiya. Semisal banyak berdzikir, taqwa, sabar, zuhud, tawadlu', dan wara'. Dia ingin ada kesesuaian antara ilmu dan amalnya, sehingga ilmunya itu di hari kiamat kelak bisa menjadi pembelanya dan bukannya malah menjadi penghujatnya di hadapan mahkamah Allah SWT .

E. Keistimewaan karya tafsir ibnu katsir

Keistimewaan tafsir ibnu katsir ini bisa kita abtrasikan ke dalam beberap point; pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan Dhaif .
dha’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.
Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah .
F. Prestasi Keilmuan
Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari .
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
G. Akhir Hayat
Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga .
H. Pandangan Ulama terhadap Ibnu Katsir
Imam Suyuthi (w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibn Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl. ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”.
Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang paing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.
Ibnu Majah menyatakan bahwa Ibnu Katsir tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab. Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain. Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibnu Katsir.
I. Perhatian kepada Ilmu Pengetahuan
Ibnu Katsir memulai pelajarannya pada saudaranya sendiri, Abdul Wahhab, kemudian menuntut ilmu dari para ulama besar lainnya yang hidup sezaman dengannya. Bersamaan dengan itu, dia giat menghapalkan Al-Qur’an Al-Karim, dan mengkhatamkan hafalannya di tahun 711 H, seperti dikatakannya sendiri dalam tarikhnya vol. 14 hlm. 312. Dia membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at, sehingga oleh Ad-Dawudi digolongkan ke dalam para ahli qira’at . Bahkan biografinya dimasukkan ke dalam Thabaqat Al-Qura’ yang ditulisnya.
II. Karangan dan Metodologi Beliau
1.Karangan-karangannya
Berikut ini adalah sebagian dari kitab-kitab karangan Ibnu Katsir, yang di antaranya telah dicatat dengan seksama oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam pendahuluan dari kitabnya, ‘Umdatut-Tafsir (1/34), dimana dia katakan, “Saya tidak yakin bahwa saya telah dapat mencatat karangan-karangan Ibnu Katsir seluruhnya sekarang, karena sebagian karangan-karangan beliau telah hilang….” Dan di sini hanya akan kami sebutkan karangan-karangan beliau yang kami ketahui saja:
1. At-Tafsir,
Sebuah ketab Tafsir bi Ar-Riwayah yang terbaik, dimana Ibnu Katsir manafsirkan Al-Qur-an dengan Al-Qur’an pula, kemudian dengan hadits-hadits masyhur yang terdapat dalam kitab-kitab para ahli hadits, disertai dengan sanad masing-masing .
2. Al-Bidayah wa An-Nihayah,
Sebuah kitab sejarah yang sanat berharga dan terkenal, dicetak di Mesir di percetakan As-Sa’adah tahun 1358 H. Dalam 14 jilid besar. Dalam buku ini, Ibnu Katsir mencatat kejadian-kejadian penting sejak permulaan diciptakannya bumi-langit sampati dengan pertengahan tahun 768 H, yakni lebih-kurang 6 tahun sebelum wafatnya. Di antara kitab sejarah ini masih ada dua jilid, yaitu bagian akhir yang dinyatakan berjudul An-Nihayah, dimana Ibnu Katsir menghimpun berita-berita yang diriwayatkan orang mengenai berbagai macam huru-hara, tanda-tanda datangnya Hari Kiamat, peperangan-peperangan yang bakal terjadi dan hal ihwal akhirat .
3. As-Sirah An-Nabawiyah (kelengkapan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).
Kitab ini belum pernah kami lihat, tetapi telah disebutkan oleh Ibnu Katsir, disamping dia sebutkan pula As-Sirah Al-Mukhtasharah (ringkasan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam) ketika menafsirkan ayat 26 surat Al-Ahzab, tentang sebuah catatan sejarah yang kami tulis tersendiri secara ringkas dan sederhana.

4. As-Sirah (ringkasan sejarah hidup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam).
Kitab ini telah dicetak di Mesir tahun 1538 H, dengan judul Al-Fushul fi Ikhtishari Siratir Rusul. Sayang, cetakan ini tidak lengkap, karena yang dicetak hanya bahian perjalanan hidup Nabi saja, yang berasar dari manuskrip (yang ada di perpustakaan ‘Arif Hikmat) di Madinah Al-Munawwarah. Jadi kitab ini masih kurang.

5. Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits,
Ibnu Katsir meringkas kitab Muqaddimah Ibnu Shalah, yang berisi ilmu Musthalah Al-Hadits. Kitab ini telah dicetak di Makkah dan di Mesir, dengan penelitian yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir pada tahun 1370 H.

6. Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan,
kitab ini disebutkan oleh Syaikh Muhammad Abdur Razzaq Hamzah dengan judul, Al-Huda wa As-Sunan fi Ahadits Al-Masanid wa As-Sunan, dimana Ibnu Katsir telah menghimpun antara Musnad Imam Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan Ibnu Abi Syaibah dengan Al-Kutub As-Sittah menjadi satu. Tetapi sayang, Ibnu Katsir tidak sempat menyelesaikannya, dan yang ada hanya tujuh jilid saja. Semuanya terdapat di Darul Kutub Al-Mishiriyah, dengan jumlah kertas dari ketujuh jilid kitab tersebut – dalam keadaan sobek di sana-sini – seluruhnya ada 2.280 lembar.

7. At-Takmil fi Ma’rifah Ats-Tsiqaath wa Adh-Dhu’afa’I wa Al-Majahil.
Ibnu Katsir menghimpun dua kitab karya dua orang gurunya, Al-Mizzi dan Adz-Dzahabi menjadi satu, yaitu, Tahzib Al-Kamal dengan Mizan Al-I’tidal, disamping ada tambahan-tambahan mengenai Al-Jarh wa At-Ta’dil sehingga dia melakukan perumusan yang menghasilkan sebuah.
8. Musnad Asy-Syaikhain, Abi Bakr wa Ummar, musnad ini terdapat di Darul Kutub Al-Mishriyah pada no. 152/Hadits/Timur.
9. Risalah Al-Jihad, dicetak di Mesir.
10. Thabaqat Asy-Syafi’iyah, bersama dengan Manaqib Asy-Syafi’i.
11. Ikhtishar, yakni ringkasan dari kitab Al-Madkhal ila Kitab As-Sunan karangan Al-Baihaqi.
12. Kitab Al-Muqaddimat, boleh jadi isinya tentang Musthalah Al-Hadits.
13. Takhrij Ahaditsi Adillatit Ibnil Hajib, isinya membahas tentang furu’ dalam mazhab Asy-Syafi’i.
14. Takhrij Ahaditsi Mukhtashar Ibnil Hajib, berisi tentang usul fiqh.
15. Syarah Shahih Al-Bukhari, baru dimulai, belum selesai. Kitab ini sering kali dia sebutkan dalam kitab-kitabnya yang lain.
16. Kitab Al-Ahkam, sebuah kitab besar yang belum sempat dia selesaikan. Pembahasan dalam kitab ini baru sampai ke bab Haji .
2. Metodologi Ibnu Katsir
Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits .
Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil .
Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.
Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah) .
Mengomentari periwayatan isroiliyyat . Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya , walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibnu Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.
Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi.
Pebedaan dengan karya-karya ulama lain karena sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal) kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan .
Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk.
Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya . Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran .
Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an” yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf.
Dalam tulisannya beliau mengkritik bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas .
Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman s ekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf.
III. Contoh Metodologinya

Surat Quraisy
 •                   
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. ( Q.S. Quraisy; 1-3)

[1602] Orang Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Tuhan mereka. oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.

"Karena kebiasaan orang Quraisy. "Karena, kebiasaan dan berkumpulnya mereka di kota Mekkah dalam keadaan aman sentosa. Namun, adapula yang mengatakan, adalah menjadi kebiasaan mereka mengadakan perjalanan di musim dingin di negeri Yaman dan perjalanan di musim panas ke kota Syam, uuntuk berdagang dan keperluan lainya. Kemudian, mereka kembali ke negeri mereka dalam keadaan sentosa. Adapun tentang pemukiman mereka di negeri itu adalah sebagaimana Firman Allah;
    •   ••         
67. Dan Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? (Q.S. Al-An kabut; 67)

Kemudian Allah SWT memberikan bimbingan kepada mereka untuk mensyukuri nikmat yang besar ini, maka Dia berfirman," Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini" artinya , hendaklah mereka mentauhidkan-Nya dalam beribadah, sebagiamana firman-Nya,"Katakanlah, Hanyalah aku di prerintahkan untuk beribafdah kepada Rabb negeri yang telah di muliakan-Nya ini. Dan milikNyalah segala sesuatu. Dan aku di perintahkan untuk masuk ke dalam golongan orang-orang Muslim."
Firman Allah SWT, " Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar,"yaitu telah memberikan makan itu adalah pengurus rumah ini, dan mengamankan mereka dalam ketakuatn artinya Allah telah member karunia kepada mereka berupa keamanan dan kesenangan. Maka tunggalkan Dia dalam beribadah, jangan menyekutukan-Nya dengan yang lain. Dan janganlah mereka menyembah selain-Nya berupa patung, saingan dan berhala. Itulah sebabnya, siapa saja yang memperkenankan perintah ini maka Allah akan memberikan keamanan pada dirinya di dunia dan akhirat. Dan, barangsiapa yang berbuat durhaka kepada-Nya, maka dia akan mencabut keamanan itu, baik di dunia maupun di akhirat Sebagaimana Firman Allah:
      •            •      
112. Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian[Maksudnya: kelaparan dan ketakutan itu meliputi mereka seperti halnya pakaian meliputi tubuh mereka ] kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl;112)

Surah an-Nashr
        
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (Q.S. An-Nashr; 1-3)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata,"Umar pernah menggabungkan aku dengan para tetua Perang Badr. Seolah-olah di antara mereka ada yang tidak setuju, lalu dia berkata,"Mengapa dia ikut bergabung bersama kiat padahal kita pun mempunyai anak-anak yang seumur denganya? Umar menbjawab," Dia temasuk orang yang sudah kamu kenal.
Maka pada suatu hari, dia memanggilku dan menggabungkan aku dengan mereka, padahal pada hari itu Aku tidak beranggapan melainkan aku hendak diminta pendapat untuk mereka. Umar Berkata, "Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah; "Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan? Diantara meraka ada yang mengatakan,"Kita diperintahlkan untuk memui Allah SWT dan memohonkan ampunan kepada-Nya, bila kita ditolong dan memperoleh kemenangan . Namun sebagian yang lain terdiam, tidak ada sepatah katapun yang berkata. Lalu Umar bertanya kepadaku, seperti itu pulakah pendapatmu wahai Ibnu Abbas? Aku menjawab, Tidak. Dia bertanya, kalau begitu, bagaiamana pendapatmu?Kataku, itulah ajal Rasulullah SAW yang di beritahukan Allah kepada kemenangan. Maka inilah pertanda ajal engkau telah dekat. Dan kamu liaht manusia ,asuk agama Allah SWT dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha penerima Toabat. Umar berkata, Aku tidak mengetahui maksud surah inimelainkan sebagiaman yang telah engaku katakana. (HR. Imam Bukhari)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a, Ketika turun ayat apabial telah datang pertolongan Allah SWT dan kemenangannya, Rasulullah SAW mengatakan " Kematian diriku telah diumumakn". Beliau wafat di tahun itu. Diriwayatkan pula bahwa Aisyah r.a. berkata, Di akhir Usianya, Rasulullah SAW sering membaca,"Mahasuci Allah. Segala puji bagi-Nya. Aku meminta ampun kepada Allah. Dan aku bertobat kepadan-Na. " Dan Beliau mengatakan,"Tuhan-ku telah memerintahuakn kepadaku bila aku telah melihatnya agar bertasbih kepada-Nya, Memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha peneriamToabt. Dani kini aku telah menyaksiakn sendiri: apabila telah dating pertolongan Allah dan kemenangan.(HR. Imam Muslim).
Ssetelah turn surat ini, Rasulullah SAW, lebih bersungguh-sungguh lagi dalam beramal untuk akhiratnay. Dan Rasulullah SAW bersabda:"Kemenanagan itu telah dating, pertolongan Allah SWT itu telah dating dan penduduk Yaman dating. "Tiba-tiba seorang bertanya, "Ya Rasulullah SAW, siapakah penduduk Yaman itu?"Rasullah SAW menjawab ,"Warga yang hatinay lembut-lembut dan watak mereka sangat peramah. Keimanan ala Yaman dan pemahaman ala Yaman ."
Maksud suarat an-Nashr yang telah dijelaskan oleh sebagian pelaku Perang Badr yang duduk bersama Umar, sebagiaman telah dikisahkan dalam hadits Bukhari di muka, bahwaAllah telah memerintahkan kepada kiat bahwa bila Allah telah menaklukannegara-negara dan benteng-bentengpertahan untuk kita, maka kiat haurs memuji, mensyukuri, memahasucikan-Nya adalah maksud yang baik dan benar.
Lalu ada beberapa orang yang mengatakan, "Bahwa shalat yang dilakukan oleh beliau itu adalah shalat dhuha. "Pendapat ini tidak dapat diterima, sebab Rasulullah SAW tidak pernah membiasakanya dikalau beliau ada dirumah, maka bagaiaman mungkin Rasulullah SAW melakukan Shalat dhuha sedangakn beliau sedang bepergian dan tidakk berniat untuklbermukim di kota Mekkah?. Itulah sebabnya Rasululah SAW tringgal disana sampai akhir Ramadhan, kira-kira selama 19 hari. Belaiu menggashar shalat dan tidak berpuasa; beliau dan seluruh bala tentaranya. Bala tentara Rasullullah mengatakan bahw shalat yang dilakuak Rasulullah SAW pada saat itu adalah shalat kemenangan. Mereka mengatakan bahwa disunahkan bagi seorang panglima perang untuk melakukan shalat sebanyak 8 rakaat bila menaklukan suatu Negara.
Kemudian para ulama ada yang mengatkan bahwa pelaksannan shalt tersebut hanya dne3gan satu kali salam dalam 8 rakaat tersebut. Namunyang paling Rajih adalah melakukan shalat tiap dua rakaat.

Surat Hajj:70

          •     •     
70. Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu Amat mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hajj; 70)

Allah memerintahukan ihwal kesempurnaan pengetahuan-Nya terhadap makhluknya dan bahwa pengetahuanNya itu meliputi segala perkara yang ada dilamgit dan dibumi. Maka, tidak ada sbesar dzarrahpun yang ada di bumi an dilangit, bahkan sesuatau yang lebih kecil atau lebih bessar dari pada itu yang luput dari pengetahuanyaNya dan bahwa Allah SWT mengetahui seluruh perkara sebellum perkara itu ada. Dia menempatkan semua itu dalam Laum Mahfuz. Hal ini ditegaskan pula dalam shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW besabda;


"Allah telah menempatkan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi ketika itu, Arsy-Nya(singgasanaNya diatas air)" H.R. Muslim
Dalam kitab sunan Rasulullah SAW bersabda dari hadits sebagian kelompok sahabat
"yang pertama kali diciptakan Allah ialah kalam (pena) . Allah berfirman kepadanya,"tulislah!Qalam berkata,'apa yang harus aku tulis?Allah berfirman,"Tulislah apa yang akan terjadi. Maka, qalampun melukiskan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat."

Itulah maksud firman Allah SWT kepada Nabi SAW "apakah kamu tidak mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Inilah bagian dari kesempurnaan pengetahuan Allah SWT terhadap apa yang dilakukan manusia. Bahkan, Dia mengetahui sebelum penciptaan bahwa orang ini akan taat atas pilihanya pula. Hal ini ditetapkan disisinya. Pengetahuan-Nya meliputi segala perkara, hal itu mudah dan ringan baginya. Karena itu, Allah berfirman, bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

III. Beberapa Catatan
Ibnu Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama azhar, yang melakukan reseach terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.
Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“ .
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli .
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.
IV. Kesimpulan
Cara Ibnu Katsir melakukan perumusan tafsirnya dengan cara;
1. Menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an
2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
3. Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibn Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibn Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibn Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.
4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Ibn Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibn Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.
5. Ra’yu atau akal. Ibnu katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan.
6. Tidaklah benar apa yang di sebutkan di dalam tafsir ini menggunakan Israliyat, akan tetapi Ibnu Katsir melakukan perumusanya dengan sangat teliti sehingga tafsir ini sama dengan Tafsir yang dikarang oleh At-Thabari.

Daftar Pustaka
1. Dr. Yusuf Al-Qardawi, Bagaiamana Berinteraksi dengan Al-Qur'an, Terj(Kathur Suahrdi), Pustaka Al-Kautsar; Jakarta, 2000
2. Buletin An-Naba’ Edisi 11 Tahun ke-2

TAFSIR AT-TAHWIR WA AT-TANWIR (IBNU ‘ASYUR)

Oleh: Syamsun Al-Palimbani

 Pendahuluan
Salah satu jalan untuk memudahkan orang dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami makna hukum yang ada di dalamnya, ialah dengan jalan menafsirkan atau menjelaskan isi kandungan dari Al-Qu’ran itu sendiri, tentunya orang yang dapat menafsirkan Al-Qur’an itu adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi serta pemahaman yang banyak tentang Al-Qur’an. Banyak ulama-ulama terkenal yang telah menafsirakan Al-Qur’an dengan kemampuan yang mereka miliki, diantara ulama-ulama yang terkenal itu adalah ibnu ‘asyur yang nama aslinya Muhammad Thair Ibnu Asyur dan dengan tafsirnya yang berjudul at-Tahwir wa at-Tanwir beliau adalah ulama kontemporer yang berasal dari tunisia. Untuk lebih jelas tentang pembahasan tafsir Ibnu ‘Asyur, kami mencoba menyusunya dalam bentuk makalah berikut ini.
 Biografi Ibn 'Asyur Penulis Tafsir At-Tahrir Wat-Tanwir
Ibnu ‘Asyur nama lengkapnya Muhammad Thahir (Thahir II) bin Muhammmad bin Muhammad Thahir (Thahir I) bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunis. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin ‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana pada tahun 1060 H.
Keluarga ‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Kakek Ibn ‘Asyur, yaitu Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadli di Tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi Mufti di negaranya.
Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al- Aziz bu Attar. Ia menikah dengan Fatimah binti Muhamad bin Mushthafa Muhsin. Dari hasil perkawinan itu ia mempunyai 3 orang anak laki-laki dan dua orang anak peremuan. Pertama, al Fadlil menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Aziz Jait. Kedua, Abd al-Malik menikah dengan Radliya binti al-Habib al-Jluli. Ketiga, Zain al-Abidin menikah dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif Bey. Keempat, Umm Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bashir Ibn al-Khuja dan Syafiya menikah dengan Syazili al-Asram.
Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di Mesjid Zaitunah sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Dia belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi, Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur as-Sahili, dan Syaikh Muhammad al-Khadlar. Zaitunah adalah sebuah mesjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang menganut mazhab Hanafi.
Kitab yang terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid ini merupakan sebuah tafsir kontemporer. Tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata
Dari sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran Al-Quran, termasuk dalam daftar tafsir terkemuka adalah karangan Ibnu 'Asyur yang satu ini. Muhammad at-Thahir ibn 'Asyur adalah seorang ulama kontemporer, wafat pada sepuluh tahun terakhir ini tepatnya sekitar tahun 2001. Memulai petualangannya menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan az-Zaitunah, Tunis. Azzaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan begitu pula usia berdiri atau eksisnya lembaga pendidikan tersebut.
Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad al-Khadhar Husain at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijobloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khadhar ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir, beliau pun mendapat kepercayaan menjadi Qadhi di Tunis yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan di Tunis
Dalam muqaddimah tafsir "at-Tahrir wat-Tanwir" beliau menuturkan, satu angan-angan terbesar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah menafsirkan kitab Allah Swt. sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Tafsir yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya, melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang lebih detail dan menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Beliau melihat beberapa tafsir yang ada hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya. Seakan-akan sang pengarang tidak memiliki kontribusi pendapat sedikit pun kecuali hanya merunut pendapat ulama lain. Cuma berbeda dari porsi yang diambil, ada yang memaparkannya secara singkat sebaliknya ada yang panjang lebar. Berkat rahmat Allah Swt., angan-angan ini bisa tercapai. Karya beliau bisa rampung tersusun dan ikut meramaikan khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi mazhab Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi. Dia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908. Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi.
Ia diangkat menjadi qadli (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950 dan anggota majma’ ai-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. Ia banyak menulis buku dan menulis berbagai majalah dan koran di Tunisia.
 Diantara Karya-Karyanya Adalah Dari Segi Buku dan Koran:

ó Alaisa ash-Shubh bi Qarib
ó Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah
ó Uslul an-Nizham al-Ijtima ‘i fi al-Islam
ó at-Tahrir wat-Tahrir min at-Tafsir
ó al-Waqfu wa atsaruhu fi al-Islam
ó Uslul al-Insya’i wa al-Khithabah
ó Mujiz al-Balagah
ó Hasyiyah ala al-Qathr
ó Syarh ’ala Burdah al-Busyiri
ó al-Gaits al-Ifriqi
ó Hasyiyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami
ó Hasyiyah ’ala Ibn Sa’id al-Usymuni
ó Hasyiyah ’ala Syarh al-Isham li Risalati al-Bayan
ó Ta’liq ‘ala ma Qara’ahu min Shahihi Muslim
ó al Ijtihad al maqasidi
ó al Istinsakh fi Dhou'i al Maqasid
ó al Maqasid as Syar'iyah: ta'rifuha, amtsilatuha, hujjiyatuha
ó al Maqasid as Syar'iyah: wa shillatuha bi al adillah as syar'iyah wa al musthalahat al ushuliyah
ó al Mashlahah al Mursalah
ó al Istiqra wa Dauruhu fi ma'rifati al Maqasid)
ó al Munasabah as Syar'iyah
ó al Maqasid a Syar'iyah fi al Hajj






 Peran Ibnu ‘Asyur Dalam Hidupnya

Pada separoh akhir dari abad ke 20 masehi, syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur dan tokoh asal Maroko Muhammad Alal al Fasi. Mereka berdua hidup dalam satu masa, yang pertama mutakharij Ezzitouna dan yang kedua mutakhorij al Kairouiyien, di tangan mereka berdua inilah memproyekan maqasid syari'ah yang telah pernah dicanangkan jauh hari oleh imam Syatibi.
Thahir Ibn Asyrur menuangkan ide maqasidnya secara khusus dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah (tebal 216 halaman), dan secara kondisional dalam karya lainnya semisal tafsir at Tahrir wa at Tanwir, buku Ushul an Nidzam al Ijtima'i dan Alaisa as Shubhu bi Qarib. Sedangkan syaikh Alal al Fasi mengkajinya secara komprhensif dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah wa Makarimuha (tebal 288 halaman) juga menyinggung secara parsial dalam karyanya yang lain, semisal Difa' an as Syari'ah, buku Hal Insan fi hajatin ila al falsafah dan bukunya yang berjudul an Naqd ad Dzati. Banyak kesamaan ide dan pemikiran dari dua tokoh asalMaghrib Arabi ini, satu contohnya adalah: pandangan yang menyatakan bahwa maqasid syari'ah berdiri di atas fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah Swt dalam surat ar Ruum ayat 30 dan surat al A'raf ayat 119, Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi sepakat bahwa menjaga fitrah manusia adalah termasuk dalam maqasid syari'ah, untuk itu syari'at Islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal manusia, selama ia dalam kondisi normal. (Thahir Ibn Asyur: hlm. 57 dan Alal al Fasi: hlm. 70) Hanya saja sisi perbedaan dari keduanya adalah: bahwa Thahir Ibn Asyur lebih berkonsentrasi pada proyek meng-independenkan maqasid syari'ah sebagai sebuah disiplin keilmuan tersendiri lepasdari kerangka ilmu ushul fiqh, dengan merumuskan konsep, kaidah serta substansi kajiannya.

 Faidah Tafsir Ibnu ‘Asyur

Dapat mempermudah dalam mamahami suatu ayat yang tidak dapat dipahami dengan pengertiannya saja, dapat mempermudah pula dalam mengamalkan sesuatu, adanya suatu tafsir sehingga dapat di fahami dengan mudah. Ada pula yang mengatakan Faidah tafsir data mempermudah ingat kepada Allah dengan memepelajari tafsir tersebut karena sesuatu yang mudah pula dalam mengamalkan dan mengambil pelajaran, mengetahui hidayah Allah baik dalam bidang-bidang aqaid, ibadah, muamalah dan ahklaq. Ilmu ini adalah salah salah satu di antara ilmu agama dalam bahasa arab yang paling mulya di antara ilmu-ilmu yang lain.

Pembangunan umamat islam bahkan pembangunan manusia tidak mungkin hanya berpegan kepada pengalaman tanpa adanya petunjuk dari ajaran islam (al-Qur’an) yang meliputi segala unsur kebahagiaan bagi ummat islam, dan dengan mudah kita dapat mengetahui karena suatu yang tidak mungkin mengamalkan dengan al- Qur’an kecuali sudah memahami al-qur’an itu sendiri dan isi-isinya diantara prinsip yaitu:
1. Mengaetahui lafadz-lafadz al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir.
2. Anak kunci penbedaharaan al-Qur’an yang diterangkan untuk memperbaiki keadaan manusia, untuk melepaskan dari kehancuran dan kesesatan dalam kehidupan di dunia ini.
Tujuan ulama’ salaf dalam memahami al-Qur’an akan mengetahui tafsirnya dan mempermudah dalam mengahafal dan memenahaminya dan juga dalam mengamalkan kehidupan sehari-harinya

 Metodologi Dan Kritikan Terhadap Tafsir Ibnu Asyur

Melihat tafsir karangan Ibnu 'Asyur dari segi materi, kitab ini terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid. Masih diterbitkan oleh penerbit tunggal yang masih cukup sulit kita dapati. Sebuah tafsir kontemporer yang memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Memiliki tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata. Memiliki metode penyusunan unik, yang tidak menghususkan satu jilid untuk satu juz saja melainkan secara acak. Kadang memuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya.
Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami seluk beluk gaya bahasa Al-Quran secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh bagian pembukaan, mulai dari penjelasan tafsir dan ta'wil, penjelasan fenomena tafsir bil ma'tsur dan bir-ra'yi, asbâbunnuzûl, sampai kepada i'jâzuI Qurân. Itupun sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan sesingkat ini. Mirip dengan uraian singkat Ulumul Quran yang sudah mencapai tingkat yang cukup rumit.
Mendeskripsikan cakupan bahasan dalam tafsir ini, beliau mengungkapkan dalam pendahuluan tafsirnya, “Saya benar-benar berusaha menampilkan dalam tafsir Al-Quran hal-hal langka yang belum digarap oleh ulama tafsir sebelumnya. Menempatkan diri sebagai penengah perbedaan pendapat ulama yang pada satu waktu sepaham dengan salah satunya dan pada waktu lain berseberangan pendapat dengan alasan tersendiri. Dalam tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap i'jazul Quran, nilai-nilai balaghah yang terkandung dalam sebuah kalimat Al-Quran serta menjelaskan uslub-uslub penggunaannya”.
Menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Al-Quran telah didesain dengan sangat luar biasa, memiliki susunan yang unik namun tetap memiliki ketersambungan antara satu ayat dengan ayat lain. Tidak melewatkan satu surat pun dalam Al-Quran kecuali berusaha menjelaskan secara lengkap setiap maksud yang terkandung di dalamnya secara utuh. Tidak sebatas menjelaskan makna setiap kata dan kalimatnya saja secara parsial, melainkan merangkai kembali makna tiap kata dan kalimat yang telah diurai terpisah menjadi satu tujuan atau maksud yang diusung oleh setiap ayat maupun surah Al-Quran.
Dalam metode pemaparan tafsir ini, tidak terlewatkan penjelasan secara gamblang tinjauan bahasa setiap kata dalam Al-Quran, menyimak hikmah dari pemilihan kata yang digunakan sampai kepada sisi gramatikal setiap kalimat. Secara spesifik menilik setiap Al-Quran dari kacamata ilmu nahwu dan tashrif, turut melengkapi posisi i'rab dari penggalan kata-kata Al-Quran.
Kita mnegetahui bahwa tafsir Ibnu Asyur (Attahrir wattanwir) yang ditafsirkan oleh muhammad Thahir Ibnu Asyur hanya mencakup satu metodolgi yaitu dengan tafsir billughah, dengan menggunakan tafsir billungah maka sebagian orang mengatakan bahwa dengan menggunakan tafsir billungah saja lebih sulit di bandingkan dengan tafsir yang lainya, seperti tafsir Ibnu Katsir, Qurtuby, Tafsir al-furqan, atau dengan tafsir bil ma’stur karena tafsir bil ma’stur manggunakan penafsisran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadits, al-Qur’an dan qaul sahabat, tabiin tabiut trabiin.
Adapun tafsir buillughah muggunakan bahasa lain tapi juga dengan berbahasa arab dan juga munggunakan mantiq, tapi di sisi lain walaupun tafsir ibnu Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir billungah maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Qur dengan Qur'an, al-Qur’an dan hadits, dan al-Qur’an dengan perkataan sahabat, di bawah ini seabagian bukti bahwa tersir tersebut tidak hanya menggunkan billighah saja.

1. (Qs al-Baqarah: 44)
 ••         
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
Dan diantara perktaanya maka dirikanlah shalat dan di tingkatkan pula tolong menolonglah kalian (sesama manusia yang beriman kepada Allah) dalam kesabaran dan dirikanlah shalat dengan menghadpakan wajahmu kerah yang telah di syariatkan dan di peintahkanya kepada mereka untuk melaksanakan syira-syiar islam seperti mendirikan shalat, memebayar zakat. Kalau kembali kepada ayat tersebut maka ayat tersebut di akhiri dengan kata:
   •   
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'
Yang dimaksud ayat tersebut ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk. Dan untuk mengahargai terhadap shalat yang mereka kerjakan. Secara gelobal maksud ayat tersebut di atas menunjukan bahwa perintah terhadap manusia untuk melaksanakan kebaikan.
 Al-mukhatib berkata: semua bani israil yang berada di dalamnya sebelum mereka memutuskan sesuatu hal yang di tetapakan kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan dengan memerintahkan ajaran yang ada dengan agama mereka yang berada di tengah-tengah manusia bukan berarti mereka berada diri sendiri dan mengubah apa yang dimaksudkan dari mereka. Dan mereka bermuwajjah terhadap kumpulan, dan mereka berada dalam pihak mereka, dan mereka menerima dengan pihak yang sama dalam pengamalanya (yang termsuk di dalamnya) dengan maksud mengabarkan mereka dari ulama’ mereka dan memerintahkan dengan perbutan yang baik adapun bermuwajjah yang pertama itu di ingkari oleh seluruh manusia, adapun orang musyrik yang dari bangsa arab mereka termasuk orang yahudi mereka selalu mengingat dengan apa yang selalu datang kepada mereka dari agama mereka dan orang arab bersumpah dengan pendengaranya apa yang mereka katakan, di jelsakan dalam ayat yang lain yang berbunyi
         •        
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang Telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”
Maksudnya kedatangan Nabi Muhammad saw yang di sebutkan dalam kitab Taurat di mana telah diterangkan sifat-sifatnya. Dan adapun di antara mereka yang durhaka (manusia) terhadap apa yang telah di janjikan dalam perintahnya maka mereka mengatakan kerjakanlah sebagai mana mereka mengerjakan maka Allah berfirman “sesungguhnya manusia berkumpul bagi dirimu semua”
 Dengan mengkasrahkan huruf "ba’" berarti manusia di perintahkan untuk mengamalkan perbuatan yang baik, baik itu ursan dunia ataupun urusan akhirat dalam bermuamalahpun juga seperti itu, pengertian “albirru” itu di masu'kan kedalam bab-bab ilmu kecuali kabaikan dalam sumpah sehingga “birru” tersebut di masu'kan kedalam bab ilmu dan sumpah. Sebagaimana perkataan al-Ma’stur (orang yang masyhur dalam tafsirnya) ia mengungkapkan bahwa “birru” itu adalah perbuatan yang baik dalam hal ini beliau menbagikan menjadi tiga di antaranya ialah:
• Berbuat baik dalam beribadah kepada Allah SWT
• Berbuat baik atau menjaga kekerabatan terhadap keluarga dekat (famili)
• Berbuat baik dalam bermuamalah dengan orang asing.
Maka adanya tiga hal tersebut diatas menunjukkan hal-hal kebaikan dan penafsiran tersebut di cantumkan kata “nisyan” yang di maksud yaitu dengan mutlaq di artikan untuk meninggalkan dan mentaati asas (perintah) dan itu merupakan majaz tahqiq yang banyak di jelaskan dalam al-Qur’an, dan di sisi lain “nisyan” merupakan penisbatan kata dengan meninggalkan suatu pekerjaan baik itu di sengaja atau tidak di sengaja sebagai mana telah di ungkapkan oleh seseorang dalam kebaikanya. Contoh:
    
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,”
Mereka telah meninggalkan dirinya sendiri dengan seperti itu (kehusuan dalam shalat) atau kebaikan yang mereka tinggalkan sedangkan mereka di perintahkan untuk melakukan kebaikan sesuai dengan apa yang telah di tentukan dalam agama islam itu sendiri.
  , Sedang kamu melupakan dirimu (kewajiban) sendiri, Jumlah tersebut kedudukanya jadi hal dari hamir  dengan pengertian jadi celaan dan takjub bagi orang yang menyuruh kebikan karena bisa jadi tersebut lupa. Jadi kata tersebut   maktuf terhadap kata  dengan maksud memerintahkan manusia berbuat baik dan menjahui segala laranganya…maka Ia berkata: sesungguhnya ayat yang manunjukan atas makseat tidak melarang kabaikan dan tidak melarang berbuat mungkar, sebagaimana telah di ungkapkan dari sebagian fahrah dalam tafsirnya maka tidak ada maksud mengramkan dan mencegah, maka yang dimaksud adalah satu hal perbuatan yang keji maka di jelaskan di kahir ayat  dan masih banyak contah contoh yang lainya.
   Kalimmta tersebut adalah jumlah hal yang terkait dengan celaan dan takjub karena mereka merupakan berada dalam dirinya sendiri, dan apa bila mereka bersama-sama maka mereka menginginkan atau mengasingkan dan mencabut atau menghilangkan perinthanya, dan di antara kedunya (manusia) di perintahkan untuk berbuat baik jika mereka menghendki untuk berbuat baik maka mereka selalu mengingat niat atau hajat kepadanaya dan ia menghilangkan kelalaian yang ada pada dirinya dan selalu menbaca kitab (kiab taurat) yang selalu memerintahkan kebaikan dan menjauhi segala laranganya, dan barang siapa yang menghindari ia berarti selalu mengulangi bacaanya dalam keadaan apapun.
 Alif dalam kata tersebut adalah kata istifham atau pertanyaan tentang yang berkal (untuk manusia) itupun juga mencakup dalam penginkaran dan celaan yang terjdi bagi orang yang menjadikan sesuatu dengan akalnya, maka mereka atas hal tersebut wujudnya penyerupaan di antara keadaan mereka (yang berakal) dan mereka kadang tidak memfungfsikan akalnya sehingga terjadi suatu hal yang akan melanjutkan perbuatan dengan sendirinya, akan tetapi orang yang memamfaatkan dan mereka berpikir atas kebenaran terhadap segala sesuatu yang telah di kerjakan pendekatan (kepada Allah) maka ia telah memamfaatkan akalnya.
 Bentuk fiil, manzil, yaitu manzil yang lazim disini ialah sebagai peningkatan atas kebaikan mereka dan kegelisahan atas keadaan mereka dan mereka menjdikan perintahkan sebagai celaan dan sekedar pemandangan dan akalnya.

2. (Qs al-Mudastsir: 1-3)
       
“Hai orang yang berkemul (berselimut) Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah!
Panafsiran secar global dalam ayat ini ialah: Allah memanggil Nabi Muhammad dengan suatu sifat yang kkhusus baginya, ketika surah ini turun kepadanya (Nabi Muhammad) maka Nabi melihat malaikat yang berada di antar langit dan bumi dan kemudian malaikat merukyah Nabi, dan Nabi pun pulang menemui khatijah dengan gemetar kemudian Nabi berkata, “Zammiluni-Zammiluni”atau Dastsirni-Dastsiruni, dan ada yang mengatakan zammIlani wa Dastsiruni. Dalam hal ini jadi ihtilaf tetapi yang jelas turunya ayat pada waktu itu adalah al-Mudastsir, lalu ada yang mengatakan al-Muammil, inilah panggilan yang mulya untuk seorang Nabi Muhammad saw.
 isim fail dari kata tadstir apabila ia memakai selimut berarti barasal dari kata tersebut asal kata al-mudastsir adalah al-mutadstir maka di hilangkan hurf ta’ yang menunjukkan sebagai pendekatan dan mempermudah dalam mengatakan dan ikut wazan iftaalah.
 Ia mengkasrahkan huruf dal. Kata asstaub yang di paki yalbast, di atas pakaian, atsstaub, dan pakaian yang dipakai untuk selurunh tubuh disebut syiar, sabagai mana sabda Nabi. “Kaum anshar bersyiar dan manusia berpaksaian”
 Sifat dan hakekat yang di katakan suatu majas atas nama pakaian untuk Nabi Muhammad saw sama dengan al-muzammil ayat pertama, yang artinya. “Wahai orang yang berselimut”
Fiil  munazzal lazimah sinunim dari kata  ini menjelaskan di perintahkan untuk bangun. Makan dari ayat pertama surah al-mudastsir ialah dalam segio tafsir maka Nabi kaget menerima ayat tersebut melalui mimpi yang di wahyukan oleh Allah melalui malaikat, dan malaikat berkata: “jangan takut sambutlah perinagatan ini”
Adapun yang nampak jelas pertama kali ayat ini di turunkan adalah menyeru untuk berda’wah, karena surah al-Alaq tidak mengandung seruan untuk berda’wah, dan sumber dri pengertian dari sumber surah al- mudastsir adalah da’wah. Allah berfirman, ”Sesungguhnya kami di utus kepadamu sebagai rasul dan kesaksian untuk kamu” di ayat lain Allah menjelaskan bahwa tinggalkan aku dalam kedustaan, mereka kaum quraiys mendustakan Nabi Muhammad saw, setelah beliau menyampaikan apa yang telah di perintahkan Allah, walaupun sebagianmereka menolak dan mendustakan tetap beliau menyampaikan karena merupakan suatu perintah. Sebagai mana di jelaskan dalam kaidah usul figh. ”Menghilangkan mafsadah lebih di utamakan dari pada mengedepankan kebaiakn”.
Dan mafulnya dari kata tersebut di atas adalah kata  yangdimuddhafkan sebagai bentuk ilmu atau manusioa mempelajari pada waktu itu, dan manusia berkumpul maka Khatijah berkata. “Seruan tersebut merupakan amanat bagi seluruh manusia”
 “Dan tuhanmu besarkanlah”Kalimat tersebut maful dari kata  karena dihukumkan sebagai penghususan, dan tidak membesarkan keselainya betul-betuk menyatu dalam mentahuidkan kepada Allah semata dan bukan kepada patung. Dan wawu adalah athaf   sama dengan kata   maknanya tidak lemah dengan pengetahuan ke agungan Allah ilahiyahnya dan mencskup kesempurnaan dalam sifat-sifat Allah.
Dan makna  Mengagukan keyakinanmu, membesarkan dengan perkataan tasbih dan ilmu pengetahuan, dan mencakup makna Allah Huakbar, karena sifat ini adalah sifat Allah yang sangat besar dari segala yang besar atau pengagungan atas segala yang agung dan kalimat ini sebagai penbukaan dalam shalat.

3. (Qs al-Muzammil:1-4)
 •                   
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.”
Qiyamul lail Ini mula-mula wajib, sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini. setelah Turunnya ayat ke 20 Ini hukumnya menjadi sunat.Dan ayat tersebut di buka dengan merupakan kalimat panggilan dan lawan pembicaraannya tidak jauh,
Asal dari kata panggilan tersebut di sebut munadi dengan ilmu pengetahuan, dan apabila lawan pembicara merupakan isim alam kepada keselainyadan merupakan suatau sifat dan dhafah seperti, wahai Nabi, atau perkataan secara halus seperti, wahai anakku laki-laki dan anakku perempuan,atau kesengajaan seperti, wahai orang yang telah di turunka sebagai pemberi peringatan, sesungguhnya kamu adalah gila, Maka Allah memanggil dengan dengan menyebut kondisi baik duduk, atau berpakaian, maksudnya sebagai perhatian sebagai sabda Nabi, Dia mendapatkan multajaan dan terdapat tanah yang melakat dan kemudian duduk di samping masjid, maka Rasullah berkata bangunlah wahai bapak tanah.
Maka Nabi Muhammad di panggil • merupkan panggilan yang halus dan yang mencakup ketinggian seperti   . Dan kata muzammil ism fail dari kata tazmil dan apabila meliputi pakaian dalam hal tersebut maka itu jadi keterangan, atau orang yang tidur maka dia adalah yang berselimut, dalam suatu pengertian di antara kedua tersebut (al-muzammil dan al-mudastir) terjadi perbedaan pendapat dalam istigognya, seperti fatzmil mustagognya adalah tadstir yang mempunyai arti berselimut, dan dari asal kata at-Tazmil, mustagognya al-Muzammil, dengan mendapatkan mencakupan makna ia menjadi samar-samar tidak di ketahui.
Asal kata al-Muzammil dari kata al-Matazammil dengan menghilangkan huruf ta’ sebelum zay, untuk mendekati kandungan ayat ini. at-tazammil merupakan suatu isyarat, az-Zuhri dan para jumhur ulama’ mengatakan kata tersebut sama dengan apa yang dikatan Nabi saw, Zammiluni-Zammiluni ketika itu ayat turun di gua hira dan setelah ayat itu turun kepadanya maka turunlah surah al-alaq. Sebagaiman hadits dari Urwah dari Aisyah yang diriwayatikan oleh imam Bukhari. “Ia tidak menyebutkan bahwa ayat tersebut turun seketika dan hanya hakekatnya”.
Ada yang mengatakan bahwa sebab tutrunya ayat tersebut merupakan mimpi Nabi Muhammad dan ketika itu beliau melihat para malaikat duduk diatad kursi diantara langit dan bumi, kemudian Nabi pun pulang menemui Khatijah sambil gemetar dan beliau berkata: Selimutilah aku-Selimutilah aku? Kemudain Nabi menjelaskan terjadinya dengan ayat • dengan perkataan selimutilah aku, maka orang mengusik dan menilai bahwa Nabi Muhammad adalah gila, karena tidak ada sebab terjadinya hal tersebut.
Dan surah al-Muzammil di turunkan sebelum surah al-Madatsir maka Allah telah mendahului Rasulnya dengan wahyu surah al-Alaq, kemudian surah al-Qalam. Dalam hal itu untuk membantah perkataan orang musyrik yang membelakangi Walid bin Mughirah, mereka mengatakan bahwa sesungghnya dia (Muhammad) gila.
Nabi di panggil oleh Allah melihat kondisi tertentu dan muzammil bukan merupakan termasuk nama-nama Nabi itu.
Dan dikatan  munzilah yang lazim yang tidak membutuhkan pada suatu ketentuan bagi orang yang menggantungkan padanya, karena yang di maksud dengan qiyam tersebut adalah untuk melaksanakan shalat, dan perintah untuk bangun baginya, (Nabi Muhammad) sebagai manasia di jelaskan dalam surah al-Mudatsir  makna sesungguhnya adalah syari’at seperti yang telah di perintahkan.
 Waktu malam setelah isya’ sampai terbit fajar, dan ini merupakan waktu yang telah di tetunkan dalam perintah untuk melaksanakan shalat qiyam lail tiap malam.
Qiyamul lail merupakan laqab dari istilah al-Qur’an dan sunnah dalam malaksanakan shalat seperti shalatku (Muhammad) dan bagi ummatnya dinamakan shalat tatawwu’ selain maghrib dan isya’ di waktu malam hari.
Perintah bagi Rasul melaksanakan shalat lail merupakan suatu perintah yang wajib dan khusus baginya, karena beliau sebagai contoh untuk bermuwajjah kepada-Nya, seperti yang di jelaskan dalam surah yang sebelumnya, adapun qiyam bagi manusia yang lain merupakan shalat tambahan sunnah, Rasulullah bersabda,. Apa yang tekah datang kepadaku sesungguhnya Rabmu tahu kamu telah bangun. Dan sekelompok yang telah bersamamu. Jum,hur ulama’ mengatakan itu merupakan suatu perintah yang belum di perintahkan sebelum shalat lima waktu baik itu waktu siang dan waktu malam, walaupun demikian tetap menjadi fardhu bagi Nabi qiyamul lail, karena sumber risalahnya merupkan wahyu yang langsung turun kepadanya , maka di jelaskan dalam sebuah hadist ”Maka telah menutupiku sampai datang dariku suatu kesungguhan dariku.” Kemudain Allah berfirman. “Sesungguhnya kami telah menurunkan perkataanyang berat kepadamu”  merupakan istisnak dari kata  kecuali sedikit darinya, dan ini tidak menggantungkan kewajiban, dan waktu qiyamul lail adalah malam. Dan  badal dari kata  dan mubdalnya menjelaskan secar global  disni dijelaskan separuh atau seperdua.
Dan faidah dari semua ini secara global adalah menjadikan malam lebih banyak untuk memintakan rahmat kepada Allah khususnya bagi Nabi sebagaimana firmanya. “atau lebih sedikit darinya” atau sekurang-kurangnya seperdua malam walau lebih sedikit ia menjadika qiaymul lail.
 Dan dia menjadikan waktu yang kosong seperuh malam atau lebih banyak di gunakan untuk qiyamul lail dan tidak yaqid, ayat tersebut seperti tidak qayid dengan kalaimat   ia menjadikan tambahan atas waktu separuh yang tersisa. Sebagai mana sabda Nabi. “Allah akam mengampuni dosa-dosa yang terdahulu dan yang akan datang.” Allh berfirman. “apakah kamu mau menjadi hamba yang tidak bersyukur?” Menurut Ibnu Athiyah kata  badan yang dishadaqahkan seitap malam, yang mempunyai makna kecuali sedikit dari malam dan menjadikan malam sebagai penebus dosa yang telah di kerjakan atau melakukan suseutu yang talah di larang oleh Allah untuk di kerjakan. Dan malam di gunakan sebagai I’tibar kerena tidak I’tibar selainya dan ada yang mengatakan bahwa kata nisfuh sampai terbit fajar.
Malam di khususkan untuk melaksanakan shalat karena waktunya orang tidur dan Rasulullah memerintahkan untuk qiyam lail sebagai tambahan menyibukkan waktunya dengan bermunajjad kepada Allah, karena malam adalah waktu sunyi dari suara, dan qiyam lail di gunakan sebagai persiaan untuk bertemu dengan Rabb-Nya.
 Boleh di gantungkan untuk qiyqm lail atau berbaguslah bacaanmu ketika qiyam lail.
Dalam perintah tersebut boleh boleh di jadikan sebagai perantara dalam kaifyah membaca al-Qur’an dan selalu lmengulanginya dalam qiaym lail dan ini merupakan kewajiban yang pertama dalam memasukkan ketika shalat lail. Surah ini turun ketka al-Qur’an baru tun atau baru di wahyukan, jadi jumlah surah yang turun pada waktu jadi dua atau tiga tapi yang paling benar adalah surah yang turun di kota mekkah, baik dsadri surah-surah ini atau surah yang lain. Suatu perkataan yang berat adalah membaca al-Qur’an sebagaiman Nabi di peritahkan untuk membaca ayat al=Qur’an dengan jelas.
 Menajdikan sesuatu dengan tartil atau terpisah dan asal perkataan mereka memperlancar dalam membaca al-Qur’an, orang yang merenggangkan gignya dengan rongga yang sedikit dan gerhamnya tidak saling bersentuhan. Dan saya (Nabi Muhammad) mebaca al-Qur’an di perintahkan untuk tartil dan pelan-pelan dalam mengucapkan hurufnya, sehingga jelas huruf yang keluar dari dalam mulutnyasehinggamemenuhi hak-hak dalam menghafalnya, maka Aisyah mengatkan yang dinamakan tartil ialah: Seandainya bagi pendengar itu mendengarkan bacaanya dengan jelas”
Dan faidahnya adalah untuk memelihara hafalan dan membuat bagi pendengar itu nyaman dalam memelihara hafalanya dan mendadabburi bacaanya, dan maknanya supay tidak mendahululkan pengucapan lisan dari pada mengamalkanya, maka Ibnu Masud berkata,: Saya membaca al-Qur’an tiap malam terus menerus.”

 Keistimiwaan Tafsir Ibnu Asyur
Adapun keistiwaan tafsir Ibnu Asyur adalah kitab tersebut adalah termasuk tafsir yang kontemporer dengan menggunakan bahasa yang mudah di pahami beliaupun menggunakan pendapat yang paling kuat dalam menyelesaikan suatu penafsiran dan yang paling rajih sehingga pabila di bandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain belaiu mempunyai kelebihan yang mudah dietrima di kalangan orang yang memehami dalam tafsir khususnya pada zaman sekarang, dan kelebihan dibandingkan dengan tafsir yang lain beliu menggukan penafsiran yang di lengkapi dengan I’rab dan mantiqnya dalam bersitimbat suatu penafsiranya.

 Kesimpulan
Dari pembahsan di atas dapat kami simpulkan bahwa tafsir at-Tahwir wa at-Tanwir adalah tafsir kontemporer yang dikarang oleh Muhammad Thahir Ibnu Asyur ulama dari tunisia ini memiliki metode penafsiran bil lugha. Adapun tafsir buillughah muggunakan bahasa lain tapi juga dengan berbahasa arab dan juga munggunakan mantiq, tapi di sisi lain walaupun tafsir ibnu Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir billungah maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Qur dengan Qur'an, al-Qur’an dan hadits, dan al-Qur’an dengan perkataan sahabat.

REFERENSI

Syek Amanah, Pengantar ilmu al-Qur’an dan tafsir, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1999
As-Shddiqy, Muhammad Hisbiy, memahami al-Qur’an, Semarang: Rizki putra Cet. 11, 2002

http://haanadza.blogspot.com/19 Januari 2009
http://muh-ali.blogspot.com/19 Januari 2009
http://www.hidayatullah.co.id/19 Januari 2009

Rabu, 04 Februari 2009

HADITS

Memanfaatkan Dunia Untuk Akhirat
Oleh : Asykur Hulu

عن ابن عمر رضيالله عنحما قال: أخذرسوال لله بمنكبي فقال: كن في الد نيا كأنك غريب، أوعابرسبيل وكان ابن عمر رضي الله عنهما يقول: إذا أمسيت فلا تنتظرا لصاح، وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء ، وخذ من صحتك لمر ضك، ومن حيا لمو تك تك (رواه لبخري)
Dari Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundakku dan bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan.” Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhu berkata, “Jika kamu berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari, dan jika engkau di pagi hari janganlah menunggu sore, manfaatkanlah masa sehat. Sebelum datang masa sakitmu dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari)
Mufrodat Hadits
أخذmemegang= سبيلPengembara=
بمنكبيDua pundakku= تنتظرkamu menunggu=
إذا أمسيتjika kamu di sore hari= وإذا أصبحتjika kamu di pagi hari=

Biografi Sahabat
Abdullah bin Umar bin Al-Khattab al- Adawi al-Quraisyi adalah anak dari Umar bin Khattab ra dan Zainab binti Mazhun ra, Ibnu Umar adalah salah satu sahabat yang paling bersemangat dalm meneladani Rasulullah SAW. Ibnu Umar masuk Islam bersama kedua orang tuanya sebelum usia baligh dan hijrah ke Madinah sebelum bapaknya .
Ibnu Umar mengikuti perang Khandak , Ahzab dan perang seterusnya bersama dengan Rasulullah SAW , akan tetapi pada perang Uhud dan perang Badar tidak diperbolehkan ikut karena usianya yang masih kecil. Kedekatanya dengan Rasulullah SAW, menjadikan ilmunya semakin luas. Beliau meriwayatak Hadits sebanyak 1630 hadits, sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim menyepakati sekitar 170 hadits .
Ibnu Umar adalah oang yang pandai akalnya, cerdas otaknya, sebagaimana yang Rasulullah SAW telah membei kesaksian untuknya “Abdullah adalah laki-laki yang shalih” beliau wafat di Makkah setelah melaksankan ibadah haji pada tahun 73H dalam uisa 84 tahun .
Kedudukan Hadits
Ini merupakan Hadits yang sangat mulia, tinggi nilainya, banyak faedahnya dan mencakup berbagi faedah dan nasehat. Hadits ini mengingatkan kita akan angan-angan yang telalu cinta kepada Dunia. Hadits ini memberikan petuah agar kiat mempergunakan sebaik-baik mungkin waktu kita di dunia yang fana ini. Hendaknya kita menjadikan dunia ini sebagai tempa perbekalan untuk menuju lama yang kekal yaitu Alam Akhirat yang telah Allah janjikan tempat yang baik dan indah(Syurga) bagi orang-orang yang selalu berada dalam jalan yang lurus .
Penjelasan Hadits
1. Rasulullah Seorang Murabbi
Rasulullah SAW adalah pengajar dan murabbi bagi para sahabatnya atau lebih tepat dikatkan sebagai pakar pendidikan karena sahabat menuntut dan medapatkan ilmu dari Rasulullah SAW. Dalam melakukan Trbiyah kepada para sahabat Rasulullah SAW memakai berbagai sistem dan metode yang dipakai para praktisi pendidikn dewasa ini. Beliau memanfaatkan moment-moment yang ada, menggunakan ilustrasi, mengajrakn sesuai kebutuhan dengan bahasa yang sesuia dengan tingkat intelektual Masyarakat yang kesemuanya dilakukan dengan keteladan dan kesabaran yang tinggi .
Dalam hadits ini misalnya, Ibnu Umar berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku”, hal ini menunjukkan perhatian yang besar pada beliau, dan saat itu umur beliau masih 12 tahun. Ibnu Umar berkata: “beliau pernah memegang kedua pundakku”. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Jika manusia mau memahami hadits ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting yang sesuai dengan realita. Rasulullah adalah seoang murabbi yang mengemban tugas untuk merubah bangsa arab dan seluruh umat manusia .
2. Fananya Dunia dan Kekalnya Akhirat
Manusia hidup di dunia ini tanpa mengetahui kapan dia akan mengalami kematian, hanyalah Allah Maha pencipta yang mengetaui masalah kapan hari mereka akan mati;
              •  •          
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Q.S. Ali-Imran; 185)
•  • • 
Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula). (Q.S. Az-Zumar: 30)
•               •           •    
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok . dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Lukman; 34)
Dunia ini tetap fana walaupun seorang berumur panjang. Ini adalah kebenaran yang tak dapat disangkal dan dilihat setiap hari dan setiap malam, dirasakan setiap saat dan setiap detik. Kemudian manusia akan mengalami kehiduan yang abadi yang tiada akhir, yaitu kehidupan akhirat setelah Allah membangkitkan mereka dari kubur, menghimpun mereka untuk dihisab amal-amalnya. Mereka diberi keputusan kepada mereka dimanakah berat amal yang telah mereka lakukan .
Orang yang memanfaatkan hidupnya hanya untuk bertakwa kepada Allah dia mendapat tempat yang Allah telah janjikan kesengan didalanya yaitu Syurga, sedangkan orang yag memenadfaatkan hidupnya hanya untuk memuaskan didirnya di dunia tanpa bertakwa dan melanggar perintah dai Allah maka dia kan mendapat temapt di neraka yang setimpal dengan apa yang telah dia lakukan dan dia akan kekal selamanya .
Orang mukmin yang berakal adalah orang mukmin yang tidak tertpu oleh dunia, tidak terasa senang dan tentram didalamnya, dia tidak memandang bahwa dunia adalah segalanya, tetapi dia mememdekkan angan-anganya bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dia menjadikan hidup di duni a sebagai ajang pertaruhanya dengan Iblis untuk mendapat keridhaan dari Allah tabaraka wa taala. Dia menjadikan dunia sebagai ladang untuk menaburi amal shaleh dan kendaraan untuk meraih keselatan diatsa jalan yang memanjang antara surge dan neraka jahanam . Sebagaiman Firman Allah SWT.
      •     
Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal. Q.S. Al-Mukmin; 39)
Rasulullah SAW juga bersabda
“Hubunganku dengan dunia, dan perumpamaanku dengan dunia seperti seorang penunggang kedaraan yang berada di bawah sebuah pohon kemudian dia pergi meniggalkanya”
3. Dunia adalah Jembatan dan Jalan Menuju Akhirat
Seorang mukimin bagaikan seorang asing atau seorang pengembara yang tidak betah di dalamnya, tidak sibuk dengn perhiasanya dan tidak tertipu dengan kesenanganya. Dia bukna seorang yang terikat dan mencurahkan seluruh potensi diri untuk meraih dunia akan tetapi untukakhirat karena dunia hanya temapt untuk melintas bukan negeri tempat menetap . Allah SWT berfirman;
       
kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. ( Q.S. Ali Imran;185)
Seorang muslim senantiasa menancapkan didalam dirinya bahwa di hidup di dunia bagaikan orang asing yang jauh dari negerinya sendiri, jauh dari istri dan keluarganya, maka dia selalu rindu ke pangkuan negerinya, sehingga ingin bertemu dengan istri keluarga dan kerabatnya. Dia mengumpulkan berbagai macam kebutuhan yang dapat memberikan manfaat baginya di negerinya sendiri. Ini merupakan pengandaian bahwansanya dunia ini tempat untuk menanam dan akhirat nantinya tempat untuk memanennya . Sebagiaman firman Allah SWT;
                              
Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. (Q.S. At-Taubah; 39)
      •     
Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal. (Q.S. Al-Mukmin: 39)
Al-Hasan Al-Basri berkat, “ Seorang mukmin itu bagaikan orang asing, dia tidak merasa sedih karena mengalami kehinaan dunia, tidak berlomba utuk meraih kemegahan”.
Ibnu Rajab berkata,” Ketika Allah SWT menciptakan Adam a.s, dia menempatknya bersama dengan istrinya di dalam syurga, kemudian mnerunkan keduanya ke dunia, menjanjikan untuk mengembalikanya lagi ke syurga beserta keturunanya yang shaleh. Maka, orang mukmin selalu rindu akan negerinya yang pertama, dan cinta negeri itu adlah bagian dari Iman (Iman kepada hari akhir).
Dunia adalah tempat untuk menguji keimanan seseorang apakah dia semakin cinta dengan Allah dengan kesengan yang dimilkinya atau makin lupa kepada maha penciptanya. Adanya mati dan hidup ats kehendak Allah SWT agar manusia ingat akan kebesaran Allah SWT dan menjadi Muhasabbah kepada umat manusia . Allah SWT berfirman;
            
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (Q.S.
                               
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya , seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". - Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). - Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (Al-Furgan; 27-29)

 •   •   •   
Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Al-Bagarah : 197)
4. Nasehat Ibnu Umar
Ibnu Umar bin Al-Khattab R.A menerima nasehat dari Rasulullah SAW dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia memahami dengan hati dan akal lalu dicerna dengan akal otaknya, sehingga dia menjadi murid yang sukses dari seorang guru yang brilian yaitu Rasulullah SAW. Dia menyeru kepada orang yang pernah mendengar hadits dari Rasulullah SAW untuk berlaku zuhud di dunia sehingga tidak memperpanjang angan-angan. Jika berada pada sore jangan menunggu-nunggu datangnya waktu pagi, dan saat berada pada pagi hari maka jangan menunggu-nunggu datang waktu sore hari, tetapi ia tidak mengira bahwa ajalays akan datang sebelum tiba waktunya .
Al-Hakim dalam Shahihnya meriwayatkan sebagai hadits marfu’ ari Ibnu Abbas R.A dari Nabi Rasulullah SAW bersabda; “Manfaatkan lima sebelum datang yang lima yaitu manfaatkan masa mudamu sebelum masa tuammu, masa sehatmu sebelum datang sakit, masa kayamu sebelum datang masa kemiskinanmu, waktu luangmu sebelum datang masa-masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
5. Hendaklah seorang muslim berlomba-lomba melakukan perbuatan baik, memperbanyak ketaatan dan kebajikan. Janganlah menjadi orang yang tidak menghiraukan dan tidak dihiraukan, yang berangan-angan untuk melakukanya di waktu yang akan datang, karena kita tak tahu kapan ajal menjemput kita. Maka di wajibkan agar berbuat amar Ma’ruf nahi munkar sehingga mendapatkan jaln yang lurus .
6. Seorang muslim hendaknya memanfaatkan kesempatan dan momen-momen tertentu, jika terbuka peluang baginya, sebelum di kehilangan saat yang tepat jangan sampai menyia-nyiakan waktu. .
7. Dianjurkan untuk bersikap zuhud agar tidak banyak gerangan-angan berpaling dari kesibukan dunia yang hanya membawa seseorang lupa akan akhirat .
8. Tugas seorang muslim adalah bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh, memperbanyak bentuk-bentu kebaikan disertai dengan hati-hati dan waspada dari hukuman Allah, sehinga dia bertambah gait dalam beramal. Demikianlah gambaran seorang musafir yang mengarahkan semua usahany untuk hati-hati dan waspada, dia takut perjalanya terhenti tidak sampai kepada tujuan .
9. Membatasi pergaulan yaitu tidak bergaul kepada orang-orang yang menjerumuskan kepada hal yang bathil. Maka bergaullah kepada para orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang selalu bertakwa.
10. Orang muslim harus menundukan semua yang ada di dunia sebagai sarana mendapatkan kehidupan akhirat dan meraih pahala dari Allah SWT. Amal dunia hukumya wajib agar seseorang dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan meraih manfaatnya.
11. Hadits ini memerintahkan dan mengingatkan kepada kita agar jangan terhanyut dengan keindahan sehigga meninggalakan amalan untuk akhirat.

Kesimpulan
Hadits ini memberikan motivasi dan mengingatkan kita akan fananya dunia ini, jangalah memanfaatkan waktru di dunia ini dengan bermalas-malasan dan tidak kenal dengan Maha Pencipta. Jadikanlah hidup di dunia ini sebagai tempat hanya bersinggah sebentar untuk menanam buah kaetkwaan untuk kehidupan yang abadi yaitu kehidupan di Syurag yang telah AllahSWT janjikan bagi orang-orang yang selalu bertakwa kepada Rabbnya.

Daftar Pustaka
1. Said Hawwa, Mencapai Magam Shidiqun dan Rabbaniyyun dalam Prespektif Al-Qu’an dan Sunnah, Robbani Pess, Jakarta, 1990
2. Abdul Halim, Ali, karakteristik Umat Terbaik, Terj( Drs. As’ad Yasin), Gema Insani Press; Jakarta, 1999
3. Al-Ghazali, Intisai Ihya Ulumuddin (Mensucikan Jiwa), Terj(Anu Rafiq Shalih Talmid, Lc), Robbanji Press; Jakarta, 2000
4. Imam Nawawi, Hadits Arba’in dan terjemahanya, Terj(Yunan Abdullah), Media Insani Press; Surakarta, 2007
5. Al-Mubarakfur, Syafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, Terj(Kathur Suhardi), Pustaka Al-Kautsar; Jakarta, 2007
6. Ali As-Sayis, Muhammad, Sejarah Fikih Islam, terj( Nurhadi AGA), Pustaka Al-Kautsar; Jakarta, 2003
7. Ibnu Qayyim, Rajab al-hambali dan Imam Al-Ghazali, Tazkiya an Nafs, Robbani Press; Jakarta, 1990
8. www.Hadits Ar’bain.com, Pak denono
9. Muhyidin Mistu, Mustafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi(syarah kitab Arbai’n An-Nawawiyah), Terj(Muhil Dhofi, Lc ), Al-I’tishom; Jakarta, 2008
10. Al-Qarny‘,Aidh Abdullah, Demi Masa, Terj(Abdur ohim, Lc) Cakrawala Publishing; Jakarta, 2005
11. Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny, Hidupkan Hatimu, Terj(Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Lc), Irsyad Baitus Salam; Bandung, 2005

MEROKET

KAMI AKAN MEROKET उन्तुक मेम्बेरिकन यांग TERBAIK